“Dan hendaklah takut (kepada Allah SWT ) orang-orang yang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.

Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar
(QS. An-Nisa’ : 9)

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia pulang

(HR. Tirmidzi)

AJF

AJF
"DALAM KEBERSAMAAN KITA ADA KEMUDAHAN. . . DALAM KEMUDAHAN ADA KEBERHASILAN & DALAM KEBERHASILAN AKAN LAHIR KEBAHAGIAN" " M A R I JALIN UKHUWAH. . . INDAHKAN DUNIA DENGAN KEBAIKAN. . . " SATUKAN TEKAD RAIHLAH IMPIAN KITA. . . S E L A M A - L A M A N Y A "

Kamis, 03 November 2011

Duhai Remaja Islam


Remaja Diserang Pornografi & Pornoaksi

Masa remaja merupakan masa-masa yang penuh dengan gejolak. Masa remaja juga rentan dengan berbagai permasalahan yang cukup kompleks dan pelik. Karena di masa inilah seseorang bertumbuh dan menjalani saat mencari jati diri untuk membentuk karakter kepribadian. Masa ini juga seringkali disebut sebagai masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Sehingga, seringkali sifat kekanak – kanakan masih melekat dan pertimbangan kedewasaanpun belum sepenuhnya terbentuk. 

Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Mengenai dorongan seksual yang meningkat ini menjadikan seseorang remaja mulai belajar untuk mengetahui dan mencari informasi terkait seksualitas itu sendiri. Kemudian penyaluran hasrat yang dimilikinya juga menyertai proses belajar ini. 

Disinilah poin penting yang harus diperhatikan, bahwa proses ingin tahu seputar seksualitas harus benar-benar tepat dan benar. Karena seringkali keingintahuan tersalurkan kepada hal – hal yang merugikan diri sendiri. Seperti akses pornografi melalui media. Dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri, media online menjadi tempat terbanyak yang dijadikan sarana untuk mengetahui informasi mengenai seksualitas. Dari jumlah responden 352 remaja yang masih berstatus pelajar di 10 sekolah tingkat atas di Surakarta, sebesar 56% menyatakan media online menjadi sarana untuk mengetahui informasi tentang seks, kemudian terbanyak kedua adalah teman sebaya sebesar 15% diikuti orang tua (12%), guru (9%), serta organisasi remaja dan lainnya masing-masing sebesar 4%. 

Kemudian dari jumlah responden yang mengakses materi pornografi sebanyak 63% pernah mengakses materi pornografi baik berupa film, gambar maupun cerita porno. Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh populasi remaja berusia sekolah yang ada di Kota Surakarta, akan tetapi cukup memberikan gambaran bahwa akses pornografi di kalangan remaja khususnya pelajar tingkat atas di Kota Surakarta dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan terhadap perkembangan seksualitas dan psikologisnya.
Apabila dianalisis lebih jauh, akses pornografi yang kian marak merupakan dampak pendidikan seks yang salah dan kurang tepat dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab akan hal itu, seperti orang tua, guru serta pihak-pihak terkait lainnya. Kegagalan pendidikan seks ini umumnya adalah karena adanya anggapan seks merupakan sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Oleh karenanya, seorang remaja terkadang malu atau enggan untuk berkonsultasi dengan orang-orang dewasa yang lebih paham dengan masalah seksualitas. Sehingga mereka lebih nyaman menggunakan media online untuk mengakses informasi terkait dengan seksualitas. Masalah muncul karena keingintahuan seputar seksual ini tidak hanya berhenti pada informasi penting saja, akan tetapi kebablasan menjurus kepada hal – hal yang yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi (materi pornografi) yang mempunyai efek destruktif yang mempengaruhi perilaku seksualnya.

Fenomena massifnya media – utamanya internet– di dalam proses degradasi moral remaja ini ditunjukan fakta lain, dalam penelitian Komunitas Jogja (2007) ditemukan 900 film porno buatan lokal dengan pemeran usia remaja Indonesia beredar di internet. Inilah bentuk shock culture yang terjadi dalam masyarakat kita. Dikatakan demikian karena budaya timur Indonesia yang sopan dan anggun mulai tergerus, mengalami pergeseran nilai menjadi budaya yang tidak lagi mengindahkan moralitas dan nilai-nilai agama. Jadilah budaya permisivisme meracuni kehidupan remaja mulai cara berpakaian yang kurang sopan cenderung menampakkan aurat tubuh lantaran dianggap seksi, berkata jorok, seks bebas hingga perilaku seks menyimpang semakin marak terjadi.

 
Faktor kemajuan teknologi media informasi yang tidak diimbangi dengan penanaman nilai moral agama dan budi pekerti menyebabkan tumbuh suburnya akses materi pornografi oleh berbagai kalangan termasuk remaja masa kini. Oleh karenanya, perlu upaya preventif untuk mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih besar maupun upaya kuratif (mengobati), dengan melihat fakta bahwa jumlah remaja yang menjadi korban pornografi terbilang tidak sedikit.

Idealnya, institusi keluarga sebagai bagian inti sarana sosialisasi nilai terhadap anak serta sekolah sebagai institusi kedua setelah keluarga, seharusnya mampu menjalankan perannya untuk menanamkan nilai – nilai budi pekerti maupun agama di dalam pembentukan moral remaja. Namun fakta menunjukan bahwa “seakan” kedua institusi itu mengalami kegagalan dalam proses sosialisasi nilai terhadap remaja. Dimana dalam poin pertanyaan kepada institusi apakah yang diharapkan remaja mampu berperan dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja, sebesar 52% mejawab lembaga sosial/agama, 30% menjawab keluarga, 13% sekolah, dan 5% sisanya institusi lain, seperti organisasi remaja (Penelitian LPR Kriya Mandiri, 2009). 

Adanya ketidaksesuaian antara das sollen (apa yang seharusnya) dengan das sein (apa yang senyatanya) merupakan masalah yang serius untuk segera diselesaikan. Maka optimalisasi institusi keluarga dan sekolah harus dilakukan. Formula pola pendekatan dalam penanaman nilai yang berkaitan dengan pendidikan seksual harus diupayakan efektifitasnya. 

Kemudian, mengenai harapan akan peran lembaga sosial/agama merupakan alternatif solusi yang dapat dilihat sebagai pihak ketiga yang mampu mendukung dua institusi utama (keluarga dan sekolah) dalam penanaman nilai moral kepada remaja. Salah satu model pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang patut dicoba untuk dilakukan misalnya melalui pembinaan kelompok sebaya (peer group). Karena tidak dapat dipungkiri bahwa usia remaja mempunyai kecenderungan kuat untuk berkumpul dan bergaul dengan teman sebaya. Sebagaimana temuan di atas, teman sebaya merupakan tempat kedua untuk bertanya dan bercerita perihal masalah seksual setelah media online. Model pendidikan terkait reproduksi melalui peer group bisa dilakukan dengan fasilitator dari lembaga sosial / agama maupun dari kalangan remaja sendiri yang dididik dan diproyeksikan sebagai fasilitator bagi teman sebayanya. 

Efektifitas pembinaan kelompok sebaya ditunjukan di Kota Jakarta untuk menekan tingkat tawuran yang marak di kalangan pelajar, pihak Dinas Pendidikan setempat memberlakukan mentoring bagi pelajar di sekolah “bermasalah” untuk penanaman nilai-nilai moral – agama yang dalam pelaksanaan merupakan kerjasama pihak sekolah bersama dengan yayasan sosial yang ada. Keberhasilan dari pola pembinaan peer group ini adalah karena adanya beberapa faktor yang kurang atau tidak ditemui dalam pola pendidikan orang tua atau pendidikan konvensional seperti pola klasikal di sekolah yang cenderung menempatkan remaja sekedar obyek saja. 

Perbedaannya adalah di dalam pendidikan peer group terdapat suasana focus, friendly, fun. Focus karena di dalam pendidikan kelompok sebaya, remaja dikelompokan ke dalam kelompok kecil beranggotakan maksimal 12 peserta dengan seorang fasilitator, sehingga peserta kelompok mempunyai perhatian lebih dan mampu konsentrasi dengan lebih baik, materi nilai yang ditanamkan lebih mudah masuk. Friendly terjadi karena kesetiakawanan dan kepercayaan yang telah terbentuk diantara mereka sehingga interaksi lebih luwes dan terjaga privasinya apabila mengungkapkan masalah yang bersifat pribadi sekalipun. Fun, menyenangkan karena pembinaan peer group bukanlah pendidikan klasikal yang terlalu menekankan formalitas akan tetapi pendidikan yang dilakukan di luar jam sekolah, menekankan aspek keterbukaan, keceriaan,nyaman, santai, diselingi game motivatif dan suasana tempat yang lebih fleksibel, bisa indoor maupun outdoor. Dengan model yang sedikit berbeda inilah, penanaman nilai moral yang diharapkan bisa lebih mudah masuk sehingga menurut pengalaman, angka tawuran remaja (pelajar) di Kota Jakarta dari tahun 2001 hingga 2004 berhasil ditekan, mengalami penurunan frekuensi secara signifikan sebesar 45% rata – rata pertahunnya (Taufiq Yuwono, 2005). 

Antara tindakan tawuran dengan pornografi di kalangan remaja merupakan dua hal yang berbeda dalam bentuk tindakan akan tetapi secara hakikat, dalam PAtologi Sosial keduanya dikenal sebagai sebentuk juvenile delinquency (kenakalan remaja) yang sama – sama mengganggu keseimbangan dan keteraturan berlangsungnya suatu masyarakat utamanya kualitas proses regenerasi yang terjadi di tengah – tengah masyarakat. Oleh karenanya, model alternatif ini layak untuk diuji cobakan dalam pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) khususnya di Kota Surakarta dengan melihat praktek di lapangan belum banyak ditemui di Kota Budaya ini.

Duhai remaja putra.... tunjukkan potensi dan prestasimu....
Duhai remaja putri.... tutuplah auratmu, fokuslah pada masa depanmu...
Wahai muda mudi Islam.... jagalah kehormatanmu....
Ingatlah masa depanmu... telah menantimu...
....karena penyesalan selalu di akhir....






referensi :
Lpr Km ska

Tidak ada komentar: