“Dan hendaklah takut (kepada Allah SWT ) orang-orang yang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.

Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar
(QS. An-Nisa’ : 9)

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang keluar rumah untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah sampai ia pulang

(HR. Tirmidzi)

AJF

AJF
"DALAM KEBERSAMAAN KITA ADA KEMUDAHAN. . . DALAM KEMUDAHAN ADA KEBERHASILAN & DALAM KEBERHASILAN AKAN LAHIR KEBAHAGIAN" " M A R I JALIN UKHUWAH. . . INDAHKAN DUNIA DENGAN KEBAIKAN. . . " SATUKAN TEKAD RAIHLAH IMPIAN KITA. . . S E L A M A - L A M A N Y A "

Selasa, 22 November 2016

Ciri Pemimpin Ideal dalam Islam

Sahabat, 
siapapun kita pastinya bahagia manakala mempunyai pemimpin yang adil bijaksana, dan dapat menunjukkan dengan tepat. 
Senantiasa menjadi teladan kebaikan dan menjadi sarana mensejahterakan makmumnya (yang dipimpin) menjadi mandiri, madani dan penuh keberkahan dari Ilahi.
Berikut beberapa ciri pemimpin ideal menurut Islam, yaitu :

1. Niat yang lurus
2. Lelaki Muslim & beramal shalih serta mempunyai sifat Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah
3. Tidak meminta jabatan
4. Berpegang pada hukum Ilahi
6. Mampu menyelesaikan problem dengan adil 
7. Tidak menerima hadiah 
8. Kuat & sehat jasadnya
9. Bersikap lemah lembut
10. Tegas dan bukan peragu

Jumat, 30 September 2016

yang BAIK itu tetap BAIK, jangan ragu

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anh, ia berkata : 
“Telah bersabda Rasululloh Saw : “ Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya"

 Kata “thayyib (baik)” berkenaan dengan sifat Allah maksudnya ialah bersih dari segala kekurangan. Hadits ini merupakan salah satu dasar dan landasan pembinaan hukum Islam. Hadits ini berisi anjuran membelanjakan sebagian dari harta yang halal dan melarang membelanjakan harta yang haram. Makanan, minuman, pakaian dan sebagainya hendaknya benar-benar yang halal tanpa bercampur yang syubhat.

Orang yang ingin memohon kepada Allah hendaklah memperhatikan persyaratan yang tersebut pada Hadits ini. Hadits ini juga menyatakan bahwa seseorang yang membelanjakan hartanya dalam kebaikan berarti ia telah membersihkan dan menumbuhkan hartanya. Makanan yang enak tetapi tidak halal menjadi malapetaka bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.

Kalimat “kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu”, maksudnya ialah menempuh perjalanan jauh untuk melaksanakan kebaikan seperti haji, jihad, dan perbuatan baik lainnya. Amal kebajikan tersebut tidak akan diterima oleh Allah bila yang bersangkutan makan, minum dan berpakaian dari hasil yang haram. Lalu bagaimana lagi nasib orang-orang yang berbuat dosa di dunia atau berlaku zhalim kepada orang lain atau mengabaikan ibadah dan amal kebajikan?

Kalimat “menengadahkan kedua tangannya” maksudnya berdo’a kepada Allah memohon sesuatu, namun dia tetap berbuat dosa dan melanggar aturan agama.

Kalimat “makanannya haram…, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya”, maksudnya bagaimana orang yang perbuatannya semacam itu akan dikabulkan do’anya, karena dia bukanlah orang yang layak dikabulkan do’anya. Akan tetapi walaupun demikian, boleh saja Allah mengabulkannya sebagai tanda kemurahan, kasih sayang dan pemberian karunia. 
Wallaahua'lam bish showab

Rabu, 17 Agustus 2016

8 M

Sahabat, ada setidaknya 8 M "Cara Mendidik Anak & Istri" :

1.Mau terus belajar
2.Mengamalkan ilmu, bukan sekedar teori aja
3.Menjadi teladan, bukan sekedar suka memerintah & melarang
4.Menjalin komunikasi dua arah
5.Memilihkan lingkungan yg baik
6.Menjadikan rumah sebagai tempat yg aman & dirindukan
7.Menafkahi dg harta halal & baik
8.Memperbanyak do'a kebaikan



#‎KeluargakuSurgaku‬

Karakter "The Leader"


Minggu, 14 Agustus 2016

Belajar dari Kuda


Do'a Hendak Pergi Haji



Sahabat, 
Ada beberapa do'a yang penting untuk kita pelajari berkaitan dengan ibadah Haji, 

yaitu :
1- Do’a orang yang hendak pergi haji pada orang yang ditinggalkan
أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’uhu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).”
Dalilnya adalah,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ »
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi meninggalkanku dan beliau mengucapkan, “Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’uhu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya)” (HR. Ibnu Majah no. 2825 dan Ahmad 2: 358. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2– Do’a orang yang ditinggalkan pada orang yang hendak pergi haji
أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
Astawdi’ullaha diinaka, wa  amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”.
Dalilnya adalah,
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا ادْنُ مِنِّى أُوَدِّعْكَ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوَدِّعُنَا.فَيَقُولُ « أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ »
Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah mengatakan pada seseorang yang hendak bersafar, “Mendekatlah padaku, aku akan menitipkan engkau sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan kami, lalu beliau berkata: “Astawdi’ullaha diinaka, wa  amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”.(HR. Tirmidzi no. 3443 dan Ahmad 2: 7. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Begitu pula bisa membaca do’a pada orang yang pergi berhaji,
زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ  وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ
Zawwadakallahut taqwa wa ghofaro dzanbaka wa yassaro lakal khoiro haytsuma kunta (Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosa-dosamu, dan memudahkanmu di mana saja engkau berada).”
Dalilnya adalah,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ سَفَرًا فَزَوِّدْنِى. قَالَ « زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « وَغَفَرَ ذَنْبَكَ ». قَالَ زِدْنِى بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى. قَالَ « وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ »
Dari Anas, ia berkata, “Seseorang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, aku ingin bersafar, bekalilah aku.” Beliau bersabda, “Zawwadakallahut taqwa (moga Allah membekalimu dengan ketakwaan).” “Tambahkan lagi padaku”, mintanya. Beliau bersabda, “Wa ghofaro dzanbaka (moga Allah ampuni dosamu).” “Tambahkan lagi padaku, demi ayah dan ibuku”, mintanya. Beliau bersabda, “Wa yassaro lakal khoiro haytsuma kunta (moga Allah memudahkanmu di mana saja engkau berada).”  (HR. Tirmidzi no. 3444. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Adapun membuat acara ritual atau do’a khusus untuk mendo’akan jama’ah haji atau orang yang hendak pergi haji dengan berjama’ah atau dikomandoi, maka seperti itu tidak ada tuntunannya dalam Islam. Bersederhana dalam amalan yang ada tuntunan dari Rasul tentu lebih baik daripada banyak amalan namun mengada-ada.

Jumat, 01 Juli 2016

Siapa Aku.. Siapa Kamu ?!




Petunjuk, Taqwa, Kesucian diri & Kekayaan


Menggapai "LAILATUL QADR"

Sahabat, 
betapa bersyukur dan beruntunglah diantara kita yang mendapatkan malam lailatul qodr..
suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan..
suatu malam yang penuh dengan kemuliaan..



1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadar itu? Malam lailatul qadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadr [97]: 1 – 5).
2.“Haa miim. Demi kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadar), dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul”. (QS. Ad-Dukhan [44]: 1 – 5).
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya …, dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat bagian kebaikannya, maka sungguh berarti ia telah dijauhkan dari rahmat Allah.” (HR. An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Temukanlah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Carilah lailatul qadar pada malam ganjil diantara sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari).
6. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Dulu apabila telah masuk sepuluh malam rakhir (dari bulan Ramadhan), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menghidupkan malam (tidak tidur), membangunkan keluarga beliau, dan mengencangkan ikat pinggang (lebih bermujahadah dalam beibadah).” (HR. Muttafaq ‘alaih).
7. Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu beri’tikaf pada sepuluh malam akhir dari bulan Ramadhan (HR. Muttafaq ‘alaih).
8. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan oleh Allah Ta’ala. Lalu istri-istri beliau tetap beri’tikaf sesudah beliau.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
9. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa ingin beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah ia beri’tikaf selama sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari).
10. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu selalu beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan sepuluh hari. Tapi pada tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf dua puluh hari (HR. Al-Bukhari).
11. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa melakukan qiyamullail (shalat malam) pada malam lailatul qadar dengan iman dan karena mengharap pahala, maka akan diampunkan dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
12. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Wahai Rasulallah, bagaimana bila aku tahu suatu malam adalah lailatul qadar, apa yang sebaiknya aku ucapkan? Beliau menjawab: “Ucapkanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘anni” [Ya Allah! Sungguh Engkau adalah Dzat Maha Pengampun. Engkau Menyukai ampunan. Maka ampunilah aku]. (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Rabu, 11 Mei 2016

Keutamaan Bulan Sya'ban




Sahabat, 
kini kita kembali bersua dengan bulan Sya'ban dan sebentar lagi Ramadhan menyapa kita in sya Allah..
Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan mulia yang disunahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. 
Dari ‘Aisyah ra., “Dahulu Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ

Dari ‘Aisyah rha. katanya, “Nabi saw. belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)

Rasulullah saw. bersabda, "Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai)

“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)

Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada dalam agama). Sebenarnya membaca Al Quran, Shalat malam, memperbanyak zikir pada malam nishfu sya’ban adalah perbuatan baik, dan merupakan pengamalan dari hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan adalah tentang ‘cara’nya, apakah beramai-ramai ke masjid lalu di buat paket acara secara khusus, atau melakukannya secara sendirian baik di rumah atau masjid dengan acara yang tidak baku dan tidak terikat.

Berikut adalah Fatwa Para ulama tentang acara ritual Nishfu Sya’ban:

1. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub[3] dan Ihya Ulumuddin[4], dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)

2. Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)
Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan acara khusus pada malam nishfu sya’ban?
Beliau menjawab (saya kutip secara ringkas):
“Telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melakukan kegiatan pada bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul lail-nya banyak beliau lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, jika hadits tersebut dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal (keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas yang dilakukannya adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah. Sedangkan aktifitas yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.

Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat [5] tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, maka di antara mereka ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!”

Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk Syam[6] berbeda pendapat tentang hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama, dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid., Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. Kedua, bahwa dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)

3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah

Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih, sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu Baz.

Larangan Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena pada hari tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.

Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:


مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)

Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa sunah lainnya, lalu dia melakukan itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)

Inspirasi Al-Hanif Education Bekonang


Do'a Ketegaran Iman



Sahabat hebat, 
Kita ini sebagai Muslim belum tentu akhir hidup kita sebagai Muslim. 
Begitu juga orang kafir, siapa tahu akhir hidupnya sebagai seorang muslim. Mengenai hal ini Rasulullah ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) pernah bersabda yang tercatat dalam riwayat Imam Tirmidzi, sebagai berikut :
Nabi Muhammad  bersabda : “lngatlah, sesung­guhnya anak Adam (umat manusia) diciptakan dari berbagai macam lapisan. Diantara mereka ada yang dilahirkan sebagai orang mukmin, hidup sebagai orang mukmin, dan mati dalam keadaan beriman. Ada pula yang dilahirkan dalam keadaan kafir, hidup sebagai orang kafir, dan matipun dalam keadaan kafir. Juga ada yang dilahirkan sebagai orang mukmin, lalu hidup sebagai orang mukmin, tetapi mati dalam keadaan kafir. Sebaliknya ada yang lahir dalam keadaan kafir, dan hidup sebagai orang kafir, tetapi ia mati dalam keadaan beriman.”
(HR. Tirmidzi dari Abu Sa`id Al-Khudri raḍyAllāhu 'anhu (may Allāh be pleased with him) dengan sanad sahih)

Oleh karena itu, hendaknya kita sering-seringlah membaca doa yang tercantum dalam al Qur’an dan Hadits :
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa wa Hab Lanaa Mil-Ladunka Rahmatan Innaka Antal-Wahhaab”
Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7)
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
“Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbiy ‘Ala Diinik”
Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan at Tirmidzi)
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allaahumma Musharrifal Quluub, Sharrif Quluubanaa ‘Alaa Thaa’atik”
Artinya: “Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu.” (HR. Muslim)
Semoga bermanfaat.

"MAHALNYA HIDAYAH ILAHI"



Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a:
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina
( Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ; Hidayah, takwa, kesucian diri dan kecukupan/kekayaan).”
(HR. Muslim no. 2721)
Sahabat, tidak semua orang diberikan hidayah oleh Allah , latar belakang duniawi tidak dapat menjadi ukuran dan jaminan mendapatkan hidayah Allah .
Bahkan orang tua yang shalih/shalihah pun belum tentu anak-anaknya juga pasti shalih/shalihah, orang tua yang mendapatkan hidayah (memeluk Islam) belum tentu keturunannya semuanya juga pasti muslim/muslimah.
Oleh karena itu mari merendahkan hati memohon kepada Ilahi agar dikaruniai hidayah Iman Islam hingga akhir hayat nanti.
SYARAH HADITS :
Rasulullah saw mengajarkan berbagai macam do'a kepada kita semua, diantaranya sebagaimana tertulis di atas : “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu; Hidayah, takwa, kesucian diri dan kecukupan/kekayaan”.
Ada 4 poin penting yang diajarkan oleh Rasulullah   dalam hadits tersebut, yaitu :
1.       Memohon hidayah/petunjuk
Makna Hidayah, sebagaimana dikatakan para ulama ada 2 macam ;
ü  Petunjuk,
Hidayah dalam arti petunjuk artinya kita diberi pemahaman yang benar dan lurus, tidak bengkok dan menyimpang, terkait ajaran Allah . Sehingga kita tahu, mana yang diperintahkan-Nya, mana yang dilarang-Nya, mana yang cintai-Nya, dan mana yang dibenci-Nya. Makna hidayah ini dalam arti pemahaman agama. Karena itu, memohon hidayah semestinya berbanding lurus dengan upaya kita yang tak kenal henti untuk terus belajar memahami ajaran Islam. Jika setiap hari kita meminta petunjuk kepada Allah , melalui surat Al-Fatihah yang kita baca saat sholat, mestinya itu berbanding lurus dengan semangat kita memahami Islam setiap saat secara menyeluruh.
ü  Tunduk & patuh mengikuti petunjuk tersebut
Dalam hal ini hidayah merupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan kita kepada petunjuk Allah  yang telah kita ketahui biasanya disebut taufiq. Kalau sering ditanyakan, apa perbedaan antara hidayah dan taufiq, maka makna hidayah disini bermakna pemahaman atas petunjuk Allah , Sedangkan taufiq adalah kesiapan diri untuk mengikuti dan mentaati ajaran-ajaran dan petunjuk-Nya. Mengetahui wajibnya shalat, menutup aurat, haramnya homoseksual, riba, itu hidayah dalam arti pemahaman. Kemudian apakah kita mau mentaati perintah-Nya & menjauhi semua larangan-Nya, itulah yang disebut sebagai taufiq.
Oleh Karena itu, saat kita memohon petunjuk kepada Allah , artinya kita memohon diberikan pemahaman yang benar terhadap agama, dan juga kekuatan dan kemauan untuk mentaatinya. 
2.       Memohon ketakwaan. Makna takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah . Takwa diambil dari kata “wiqoyah” yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
3.       Memohon harga diri yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti do’a ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji. 
4.    Memohon kepada Allah   al ghina (kecukupan/kekayaan) yaitu dicukupkan oleh Allah  dari apa yang ada di sisi manusia dengan tetap selalu qona’ah, selalu merasa cukup ketika Allah  memberinya harta sedikit ataupun banyak.


Namun demikian, bukan berarti menjadi orang kaya diharamkan, justru dengan harta yang melimpah nan halal dapat memudahkan kita semakin banyak beramal shalih, seperti sedekah, zakat, menyantuni yatim-dhu’afa, mendirikan pesantren, membangun masjid, dst.
Semoga dengan renungan hadits di atas, dapat memotivasi kita agar selalu memohon kepada Allah  berupa : petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf dan kecukupan/kekayaan yang halal dan thoyyib. Sehingga dengan nikmat-nikmat tersebut dapat menjadikan kita selalu bersemangat dalam menjaga keistiqomahan di jalan Allah  . 
-wallahu a’lam bishshowab-