kini kita kembali bersua dengan bulan Sya'ban dan sebentar lagi Ramadhan menyapa kita in sya Allah..
Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan mulia yang disunahkan bagi kaum muslimin
untuk banyak berpuasa.
Dari ‘Aisyah ra., “Dahulu Rasulullah saw. berpuasa
sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka dan dia berbuka sampai kami
mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan
puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia
berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ
Dari ‘Aisyah rha. katanya, “Nabi saw. belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. bersabda, "Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan
Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat,
maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai)
“Allah
Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia
mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Hadits ini Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan
oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz
bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan
‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif.
Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al
Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani
mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih karena
banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu
sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua
makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum
muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca
Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.. Tetapi, dalam hadits
ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus
tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh,
karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang
bid’ah (mengada-ngada dalam agama). Sebenarnya membaca Al Quran, Shalat malam,
memperbanyak zikir pada malam nishfu sya’ban adalah perbuatan baik, dan
merupakan pengamalan dari hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan
adalah tentang ‘cara’nya, apakah beramai-ramai ke masjid lalu di buat paket
acara secara khusus, atau melakukannya secara sendirian baik di rumah atau
masjid dengan acara yang tidak baku dan tidak terikat.
Berikut adalah Fatwa Para ulama tentang acara
ritual Nishfu Sya’ban:
1. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang
mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat
Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni
malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban
seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah
terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub[3] dan Ihya Ulumuddin[4],
dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya
adalah batil.” Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al
Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)
2. Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)
Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan acara khusus pada malam
nishfu sya’ban?
Beliau menjawab (saya kutip secara ringkas):
“Telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bahwa beliau melakukan kegiatan pada bulan Sya’ban yakni berpuasa.
Sedangkan qiyamul lail-nya banyak beliau lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul
lailnya pada malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam
lain. Hal ini didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya,
jika hadits tersebut dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul
‘amal (keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana
disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas yang
dilakukannya adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah. Sedangkan aktifitas
yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak
pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al
Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti
Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam
nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu
sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat [5]
tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih
pendapat, maka di antara mereka ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini
diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan
dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga
menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka
mengatakan: “Semua itu bid’ah!”
Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk
Syam[6] berbeda pendapat tentang hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban
menjadi dua pendapat: Pertama, dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan
berjamaah di masjid., Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya,
mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka
menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin
Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan
bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang
ini. Kedua, bahwa dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah,
dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri
saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya
mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr
Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)
3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah
bin Baz Rahimahullah
Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan
ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia
pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu
sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada
dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang
meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya
sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam
tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh
kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian
ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam
dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada
malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya
adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan
hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan
lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara
ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih,
sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih,
melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad
Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu
Baz.
Larangan Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari
atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena pada hari
tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1
Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari,
sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk
waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.
Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak,
maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza
Ra’aytumuhu fa shuumuu)
Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi
orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang
yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa
sunah lainnya, lalu dia melakukan itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal
ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan
Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang
menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No.
1815)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar