Secara bahasa Syahadataini berasal dari kata Syahada - Yasyhadu berarti bersaksi. Asyhadu berarti saya bersyahadah.
Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk fi’il mudhori’ atau setara dengan
present continuous tense dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan suatu
aktivitas yang sedang berlangsung dan belum selesai. Kata syahadah secara
bahasa mengandung 3 makna, yaitu :
1.
Al i’lanu (pernyataan) (QS.3:64)
Seseorang saat memasuki pintu gerbang
Islam mengiklankan, menyatakan bahwa Tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah. Kata-kata ini bukan saja syarat makna, namun juga demikian
berat dan tinggi konsekuensi yang ada di belakangnya, antara neraka atau
syurga, antara azab yang pedih atau kenikmatan yang abadi.
Secara substansial kalimat syahadah
adalah pernyataan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus pengukuhan Allah
sebagai satu-satunya ilah dan Muhammad SAW sebagai satu-satunya uswah
(teladan). Kata-kata perjanjian ini diikrarkan agar secara sosial segera
terbedakan antara pengikut Allah dan pengikut thagut (syaitan), siapa yang
meyakini dan siapa yang tidak percaya akan kerasulan Muhammas SAW, siapa yang
beriman dan siapa yang kafir.
Pada periode Makah, sikap
al-i’lan ini segera diikuti konsekuensi nyata. Seperti kisah Bilal bin Rabbah,
Ammar bin Yasir, Mush’ab bin Ummair r.a. dalam mengikrarkan keislaman mereka
dan dahsyatnya ujian yang segera mereka terima.
2. Al-wa’du (janji) (QS.7:172)
Syahadah merupakan sebuah
perjanjian. Jika seseorang berjanji, selama janji itu belum direalisasikan maka
seharusnya ia merasa berhutang, sebab janji adalah hutang dan hutang harus
dibayar. Bila seseorang tidak dikejar rasa bersalah ketika ia tidak memenuhi
janjinya, maka ia memiliki ciri orang munafik. Sebagai konsekuensi dari
janjinya maka ia haruslah beramal.
3. Al-qosamu (QS.6:162-163)
Makna kata syahadah yang lain
adalah al-qosamu (sumpah). Ini berarti dengan melafadzkan syahadatain kita
bersumpah untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah dan Rasulullah SAW sebagai qudwah
(contoh).
Sumpah lebih berat dari sekedar
pernyataan dan janji. Maka seorang muslim terikat dengan sumpah yang
diikrarkannya secara sadar, dengan segenap konsekuensi yang ada di belakangnya.
Diantara konsekuensi itu adalah pengamalan kalimat yang secara berulang kita
ucapkan dalam shalat :
“...Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku (hanyalah) untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya...” (QS.6:162-163)
Jika seorang muslim memegang
teguh sumpah ini, lengkap dengan seluruh konsekuensinya, maka balasannya adalah
surga, jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dengan segala kenikmatan
dan kesejahteraan yang dilimpahkan oleh Allah SWT.
Jalan menegakkan sumpah ini bukanlah
jalan yang mudah dan mulus, melainkan merupakan jalan taqwa yang sukar dan
mendaki. Surga tidak diperoleh secara mudah dengan hanya menjalankan ibadah
mahdhoh (khusus) lalu mengabaikan totalitas ibadah. Surga diberikan hanya untuk
orang-orang yang diridhai-Nya, orang-orang yang telah teruji keimanannya,
teruji cintanya kepada Allah dan rasul-Nya, orang-orang yang berjuang di
jalannya. Firman Allah :
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang
sebelum kamu ?...” (QS.2:214)
Adapun secara istilah,
syahadah merupakan suatu pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan membenarkan di dalam hati (At tasdiiqu bil
qalbi), dinyatakan dengan lisan (al-qoulu bil lisan) dan dibuktikan
dengan perbuatan (Al-amalu bil arkan). Sabda Rasulullah SAW :
“Iman ialah dikenali oleh hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan rukun-rukunnya.”(HR Ibnu Hibban).
Bersyahadah merupakan
langkah awal untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Keimanan seseorang yang
bersyahadah harus diikuti dan disempurnakan dengan istiqomah. Karena tidak ada
iman tanpa istiqomah dan tiada istiqomah tanpa iman (QS.41:30). Iman tanpa istiqomah
adalah lemah dan tidak sempurna, sedangkan istiqomah tanpa iman adalah
kebatilan. Sabda Rasulullah SAW :
“Katakanlah kamu beriman kepada Allah,
kemudian beristiqomahlah (dalam keimanan).” (al Hadits)
Manusia yang istiqomah
memiliki ciri-ciri sikap berani (syaja’ah), tenang (ithmi’nan) dan optimis
(tafa’ul). Sikap berani disebabkan adanya keyakinan akan pertolongan dari
AllahSWT dalam setiap amal shalih yang dikerjakan. Sikap tenang ditimbulkan
karena percaya bahwa apapun yang menimpa dirinya tidak terlepas dari takdir
Allah. Ketenangan ini juga dihasilkan karena ia senantiasa mengingat Allah.
Firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. 13.28)
Ciri yang lain adalah
sikap optimis yang timbul karena dalam setiap amalnya ia berorientasi pada
Allah SWT, ia berusaha secara optimal lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah
dengan mengharapkan ridha dan jannah-Nya.
Ketiga sikap tersebut
merupakan anugerah dari Allah bagi orang-orang yang istiqomah, yang akan
membawa mereka pada kebahagiaan hidup (as-sa’adah) baik di dunia maupun di
akhirat.
"Yuuuk kita sholat. . : -) |
REFERENSI
Paket BP Nurul Fikri, Syahadahmu
Syahadahku
Muh. Said al Qaththani, Muh. Bin Abd. Wahhab,
Muh. Qutb, Memurnikan Laa Ilaaha Illallah
DR. Ibrahim Muh. bin Al Buraikan,
Pengantar Studi Aqidah Islam
Koleksi Bahan Tarbiyah Islamic Network (Isnet, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar