LidaH
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, hidup
seorang ulama bernama Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri. Di samping sebagai
ulama, beliau juga seorang abid yang banyak sujud kepada Allah SWT. Namun
ibadahnya yang banyak itu, tidak mendorong niat beliau untuk ber’uzlah
(mengasingkan diri) dari masyarakat. Bahkan beliau termasuk da’i pemberani
dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahyu munkar.
Alkisah, ketika Khalifah Harun Al-Rasyid sedang melakukan ibadah haji,
sebagaimana lazimnya penguasa sekarang, seluruh tempat yang akan dilaluinya
ditutup untuk umum. Pada saat Khalifah sedang melakukan sa'i (lari kecil)
antara Shafa dan Marwah seorang diri, sambil disaksikan ribuan jamaah haji,
berkatalah salah seorang dari mereka kepada ulama tadi, "Hai tuan guru,
apakah boleh seorang khalifah mencegah rakyatnya beribadah kepada Allah?”
Ulama
itu menjawab, “Apakah kamu ingin agar aku mencegah kezaliman ini padahal kamu
tidak berani melakukannya? Orang yang tidak mampu membela kebenaran adalah
syetan bisu”.
Selanjutnya berangkatlah Abdullah Al-Amri ke tempat sa'i, sesampainya di
dekat Shafa, kebetulan saat itu khalifah baru saja tiba di sana, berteriaklah
beliau, “Haruuun ….! (tanpa menyebut jabatan khalifah). Mendengar jeritan tadi,
seluruh jamaah haji –termasuk khalifah– menghadapkan wajahnya ke arah datangnya
suara. Setelah khalifah tahu siapa yang memanggilnya, segera beliau menjawab,
“Labbaika ya' amin.”
“Naiklah ke bukit Shafa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di
sana?” Tanya sang ulama. “Tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah,”
jawab khalifah. “Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan diminta
pertanggungjawabanmu oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah
kepada dirimu! Apakah pantas engkau perlakukan umat seperti ini?” Mendengar
ucapan ulama tersebut, menangislah khalifah seraya mengakui kesalahannya yang
beliau lakukan.
Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran betapa lidah itu mempunyai peran
yang sangat penting dalam menegakkan Al-Haq. Dan benarlah pepatah “Lidah lebih
tajam dari pedang”. Allah SWT juga memuji orang-orang yang mengaktifkan
lidahnya untuk berda'wah.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang-orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri”. (Q.S 41:33)
Sebagai salah satu sarana amar ma'ruf nahyu munkar, lidah telah terbukti
keampuhannya sejak dimulainya dakwah Islam oleh Rasulullah SAW. Dia ampuh untuk
mengajak kepada kebaikan, juga untuk mencegah kemungkaran dan kebatilan.sejarah
telah mencatat betapa seorang nenek tua berani menegur Umar bin Khathab yang
sedang berpidato di atas mimbar, karena kekeliruan khalifah dalam masalah mas
kawin. Juga ketika khalifah Umar baru saja diangkat menjadi pemimpin umat,
Beliau berpidato di atas mimbar, seraya berkata, “Hai manusia, apakah yang akan
kalian kerjakan jika aku menyimpang dalam memimpin umat?” Kami akan luruskan
penyimpangan Anda dengan pedang kami”. Inilah contoh dari keberanian umat dalam
menegakkan Al-Haq.
Pada saat lidah menjadi tumpul, banyak sekali kerusakan dan kemungkaran yang
ditimbulkan oleh masyarakat dan kalau kemungkaran sudah dominan, pembela Al-Haq
tak akan berharga lagi. Orang-orang jujur menjadi hina. Masyarakat lebih
cenderung kepada maksiat, dan kebenaran hanya menjadi permainan lidah. Yang
muda durhaka dan yang tua bergelimang dosa.
Alquran hanya sebagai nyanyian dan ulama penuh dengan kemunafikan. Yang
kecil tidak menghormati yang besar dan yang kaya tidak mengasihi yang miskin.
Pada saat itu ilmu dikuasai orang-orang bejat dan kekuasaan dipegang oleh
orang-orang tamak. Kalau yang demikian itu sudah terjadi, mungkin laknat Allah
yang akan tiba sebagaimana yang terjadi pada Bani Israel dahulu.
Firman Alloh SWT :
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan
Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka selalu durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang
mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.(QS
5:78-79).
Dalam kaitan ayat di atas, Ustadz Sayyid Qutb menulis dalam tafsir
Zhilalnya, ”Manhaj Islami menghendaki agar jamaah muslimah memiliki eksistensi
yang hidup dan kokoh. Ia harus mampu menolak berbagai bentuk penyimpangan dan
kemaksiatan sebelum menjadi fenomena umum di masyarakat. Ia harus kokoh membela
Al-Haq dan peka terhadap gejala-gejala kebatilan. Sebagaimana manhaj tadi juga
menghendaki kepada tokoh masyarakat dan agama agar melaksanakan amanah yang
dibebankan dan mampu menghadapi berbagai bentuk kejahatan, kerusakan dan
kezaliman, tanpa sedikit pun dihantui rasa takut kepada penguasa, kaum elit
danlih berganti dengan segala kezaliman dan kebiadabannya. Sayangnya, sejarah
terkadang sepi dari tokoh-tokoh Al-Haq yang akan mengimbangi bahkan mengalahkan
kebatilan tersebut. Kalau dulu, ketika terjadi riddah (keluar dari agama) ada
Abu Bakar Shiddiq, siapakah tokoh yang diharapkan menghadapi pemurtadan masa
kini?
Rasanya setiap muslim sekarang ini harus mengasahi lidahnya, agar tidak
tumpul ketika menyaksikan kebenaran dikebiri dan kebatilan disanjung-sanjung.
SETIALAH KEPADA KEBENARAN DAN KEBAIKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar